Pages

RSS Feed

Minggu, 23 Januari 2011

Psychosomatic Project



Psychosomatic Project sebagai sebuah laboratorium gerak berdasarkan rahasia “atlas tubuh” dalam suatu proses eksploratif dengan mencoba mendedikasikan diri pada sebuah penelitian yang sekaligus mengembangkan seni tari sebagai pertunjukan kontemporer.

Melalui proses penciptaan karya dengan mengolah trauma-trauma psikis yang termanifestasikan dalam bahasa tubuh sebagai modal kosa gerak. Dengan menggunakan pendekatan teknik ballet, hatha yoga, legong dan kebyar duduk dari Bali, dan Jawa. Trauma-trauma psikis dieksplor untuk menemukan kemungkinan gerak-gerik yang akan disusun menjadi sebuah komposisi koreografi. Memiliki kecenderungan menjadi satu karya pertunjukan yang mengambil spirit dari konsepsi pewayangan untuk panggung minimalis. Dimana tubuh manusia seperti wayang (bayang-bayang). 

Pemahaman akan Psychosomatic Project sendiri baru mulai dikembangkan oleh Okty Budiati, sekitar akhir Agustus, tahun 2003, di Yogyakarta. Yang juga sebagai penari sekaligus koreografer pada karya-karyanya. Latar belakang dari proses kreatif ini terinspirasi dari sebuah pengalaman pribadi. Dimana kecenderungan self abuse, hypochondria, serta trauma dalam tubuh secara psikis mampu membentuk suatu karakter individu dalam komponen relasi sosial yang terus bergerak. Kompleksitas individu pada akhirnya mempengaruhi karakter sebuah psikologi sosial yang terjadi, khususnya di Indonesia. Kecenderungan akan tubuh yang “sadness” telah menarik minat Okty untuk melakukan penelitian secara lebih dalam mengamati gerak-gerik keseharian dengan melakukan sebuah observasi tentang manusia berdasarkan individu dan “atlas tubuh” mereka yang dipahami secara struktur ke dalam kinaesthesis.

Dari apa yang pernah dipelajarinya dalam dunia tari dan pengalaman hidupnya, Okty menyimpulkan bahwa dunia modern telah menutup pemaknaan secara luas terhadap esensi tubuh itu sendiri, yang tidak hanya berdampak dalam tubuh tari sebagai kendali kekuasaan di ruang-ruang agama, sosial, politik, dan budaya. Bahasa tubuh tidak lagi menjadi jujur. Sehingga spiritualitas yang tumbuh akan terombang-ambing dalam gerakan ekonomis. Dari beberapa karya tari yang yang pernah dihasilkan, karya tari Fragile menjadi satu jawaban akan kegelisahan Okty. Karya ini dibuat sejak tahun 2004 di Yogyakarta dengan mengalami lima kali revisi, Fragile & the Last Steps dipentaskan pada tahun 2007, di Japan Foundation. Meskipun sebagai sebuah pertunjukan karya tersebut terkesan radikal, namun pada sebuah apresiasi akan seni murni (raw art) mampu memberikan pemahaman yang sebaliknya pada etis tubuh panggung sekaligus tubuh sosial berdasarkan individualitasnya.

Sebuah Langkah Keterbelahan Diri


I. Lahirnya Kegelisahan

“Imagine a group of people who have come together to socialize. The conversation is in full swing, lively, almost out of control. One person can hardly wait to have his say till the other is through with his, and everybody takes part more or less actively as in a debate”. (Soren Kierkegaard)


Manusia sebagai mahluk yang mendua telah menjadi bahan penelitian sekaligus melakukan eksplorasi atas kompleksitasnya dalam eksistensi mereka sejak munculnya sebuah peradaban yang pada akhirnya pergerakan dan perubahan tersebut sangat berkaitan erat dengan kebudayaan dalam keseharian mereka. Saat ini, di Indonesia, yang manusianya (masyarakat) masih mengalami proses beradaptasi antara global-lokal pun mengalami konflik untuk memahami diri sendiri dimana kenyataannya mereka masih terlalu dini saat bersentuhan dengan keseharian yang modern sebagai sebuah konsep kebudayaan dalam kesehariannya.

Kecenderungan ini mengakibatkan manusia itu mengalami keterasingan pada diri sendiri dengan mereka sadari atau tidak sadari. Keterasingan ini pun berkembang menjadi puncak kejenuhan akan rutinitas pada keseharian mereka. Hingga seakan-akan, menyepi untuk mendapatkan ruang hening menjadi harapan. Bagi saya, disanalah letak konflik manusia saat ini; anxiety (kegelisahan).

Ketimpangan dalam tingkatan sosial yang ada pun tidak mampu merangkul manusia dengan manusia lain untuk saling bekerja sama kecuali adanya satu kesetaraan semu yang telah dibentuk oleh kekuasaan yang berlaku. Sehingga manusia yang hidup dalam tatanan yang rapi dengan mengikuti segala aturannya menjadi cenderung kaku, jika boleh saya katakana; sebenarnya mereka telah kehilangan hasrat hidup untuk hidup dengan hidup itu sendiri. Dan manusia pun bermunculan menjadi seorang performer yang sangat handal dalam memanipulasi peran yang sedang dan akan dimainkannya, yang tentu saja tidak lain adalah penghancuran bagi diri sendiri, bahkan manusia di sekitarnya! Terselimuti oleh etika dan moralitas yang baku, kesadaran yang muncul pun menjadi kesadaran yang bukan kesadaran. Dalam hal ini (sebenarnya, ya!) saya menyangkal segala aturan yang berlaku pada tatanan doktrin agama, hukum negara, bahkan budaya dengan segala teori yang berlaku, seperti yang dikatakan oleh Friederich Nietzsche: ‘Pengetahuan demi pengetahuan itu sendiri’ – ini adalah perangkap terakhir yang dipasang oleh moralitas, menjerat kita sepenuhnya sekali lagi’.

Bagi saya, sejak manusia memasuki usia lima tahun dimana mulai beradaptasi dengan lingkungan sosial dan pendidikan sekolah, mereka sebagai manusia berangsur-angsur hilang. Sehingga manusia muncul hanya dengan kemanusiaannya saja, dan tentu keadaan ini tidak lain hanyalah kesemuan juga membodohkan. Suatu pandangan yang sangat menyesatkan. Karena mereka telah kehilangan hasrat dan keyakinannya akan insting dan intuisi pada diri sendiri. Nalar dan kesadaran kita selama bertahun-tahun dilatih dan ditata hingga membentuk satu karakter. Manusia dengan tubuhnya menjadi instrument (media) bagi kekuasaan, bisa saja; lingkungan dalam keluarga, lingkungan sosial, atau tatanan negara. Dalam hal ini, mungkinkah kesepakatan itu telah benar-benar kita sepakati sebagai panduan hidup atau kita hanya robot-robot yang sedang berbaris sangat rapi menuju ruang jagal.

Akan menjadi perhatian saya selanjutnya; dimanakah letak kesepakatan pribadi? Bisakah kesepakatan pribadi berlaku?, paling tidak untuk diri sendiri. Dan yang paling mendasar, apa sebenarnya kesadaran dan kebenaran? Pendeknya, mampukah kita menjadi manusia dengan jiwa bebas? Bahkan jika keterasingan adalah sahabat kita, jadikan itu sebagai hasrat hidup! Sebagai pengikat hati kita untuk tetap menjadi manusia bebas. Disini keberanian menjadi cambuk yang sangat keji sekaligus melenakan. Karena itu manusia harus menjadikan dirinya sebagai subjek sekaligus objek atas pengalaman-pengalamannya hingga mampu mencapai tingkat kesadaran itu sendiri.

Bagaimana pun manusia tidak akan mampu terhindar dari segala tatanan yang telah ada. Bisa dikatakan; bahasa, kata-kata, tata kalimat, bahkan hingga tata jiwa telah tertata rapi sejak kelahiran hingga kematian. Sehingga segala hal yang berlaku di dalam keseharian menjadi dilema yang tidak dapat dihindari dan sudah seharusnya tidak boleh dihindari, kecuali kita memilih menjadi pengecut! Kecenderungan manusia pada saat ini adalah melakukan pengasingan diri di ruang-ruang yang terisolasi dari perkumpulan bahkan ada yang menyepi dan hidup di hutan. Alam seakan-akan menjadikannya hidup damai dan terhindar dari kebisingan. Tapi sampai kapan mereka mampu bertahan terutama bagi para manusia mega kota? Mungkin saja kedamaian hadir dalam inderawi sebagai penyejuk tapi dapat dihitung dengan jari jika keadaan itu bukanlah obat yang mujarab. Karena akan muncul sebuah gelisah yang sesungguhnya; kebisisingan pikiran. Bagaimana pun, kepala (pikiran) kita bukanlah sebuah rel kereta api melainkan jaringan skizoprenik. Jadi, bunuhlah pikiran sebelum pikiran membunuhmu!


II. Ritus Ketelanjangan Diri

“Betapa anehnya penyederhanaan dan pemalsuan kehidupan manusia! Sekali kita mengarahkan mata pada keajaiban ini, maka kita akan dibuat terkagum-kagum selamanya! Lihat bagaimana kita membuat segala sesuatu menjadi cerah, bebas, bersinar dan sederhana!” (Friedrich Nietzsche)


Manusia modern lebih cenderung berproses dalam keinstantan dengan mencari pengobatan dan hingga pengampunan dari manusia lain (sesuatu yang diluar dirinya). Sedangkan pengobatan dan pengampunan itu sebenarnya hanya hadir dalam diri sendiri, dan jiwa kitalah yang hanya mampu menemukan solusinya. Dengan melihat, membaca, merasakan secara langsung secara detail tentang perasaan-perasaan sedih, pedih, senang, keputusasaan, ketidakpastian, hingga kematian akan membawa kita untuk benar-benar menghargai hidup yang kompleks. Kesadaran pun akan muncul dengan sendirinya, dan bahwa manusia hanyalah sekumpulan hewan yang memakai kostum dan berjalan tegak. Dalam contoh subjek di atas ini, memahami psikologi manusia menjadi sebuah proses dalam keseharian manusia itu sendiri adalah mutlak.

Persoalan hidup manusia memang selalu dan akan terjadi dalam jalan panjang kehidupannya. Penderitaan dan tekanan psikis seringkali muncul mengiringi masalah tersebut. Kompleksitas ini pada akhirnya menjadi pangkal penderitaan. Derita yang gejalanya diawali dari ketidakmampuan pikiran mengendalikan persoalan tersebut. Kemudian muncul dalam bentuk kemarahan, kegelisahan, perasaan bersalah, hingga depresi. Bahkan dalam hal-hal tertentu dapat menjadi penderitaan fisik. Dari kalangan psikologi menyebut trauma yang disebabkan oleh proses derita mental ini disebut sebagai Psychosomatic Illness.

Dalam penutup tulisan ini, saya katakan, manusia tidak akan dapat menemukan ruang heningnya jika manusia itu sendiri belum berani mengakui keberadaan dirinya sendiri dan menelanjangi kebinatangannya yang melekat pada dirinya sendiri. Karena hening muncul bukan dari sebuah tempat, tapi hening hadir dalam ruang dan waktu yang sedang kita jalani dalam keseharian kita. Begitulah seharusnya para performer; aktor-aktris maupun penari memaknai proses yang mereka lakoni. Bukan proses yang bertujuan untuk menjadi. Tapi ini sebuah proses yang bergerak bersamaan dengan menjadikan nafas dalam hidup kita, dan kita menjadi tidak terasing dengan peran yang sedang kita lakoni. Dan seni bukanlah sesuatu yang berkembang dari teori yang matematis kemudian karya tercipta dengan sendirinya dari keteraturan dan menjadi fenomenal. Teori adalah musuh terbesar bagi proses penciptaan karya seni itu sendiri. Seni (gerak) adalah sesuatu yang hidup, dia bergerak bersama dengan nafas yang kita miliki. Jika kita tidak mampu melakukan penghancuran bagi segala teori, janganlah berani mengatakan: kita hidup untuk seni! Seni merupakan cinta, sebuah anugrah yang penuh gairah, seni muncul dalam kesenangan sekaligus penderitaan. Dan teori hanya akan menjadi penjara bagi hasrat-hasrat tersebut. Selamat berjuang!


Tari Sebagai Media Komunikasi


Melalui bahasa tubuh (gerak), seni tari merupakan media komunikasi. Tari menjadi simbol pencerahan. Melalui perayaan ritual maupun hiburan, di dalamnya terkandung spirit akan identitas yang merupakan perwujudan dari suatu filosofi, nilai dan bentukan sejarah, serta tradisi dan budaya tertentu. Seni tari merupakan salah satu wahana ekspresi, sebuah proses harmonisasi tubuh dan pikiran melalui gerakan.

Persoalan hidup manusia selalu terjadi dalam jalan panjang kehidupan. Kemiskinan dan pendidikan sering kali muncul mengiringi berbagai masalah tersebut. Kompleksitas ini pada akhirnya menjadi pangkal ketidakmampuan pikiran dalam membaca ruang masyarakat yang telah membentuk karakter menjadi suatu komponen dalam relasi sosial. Tubuh pun beralih fungsi menjadi mekanik yang akan terus menciptakan kloning-kloning tubuh sesuai perkembangan jamannya. Sementara tubuh sebagai bahasa tidak lagi menjadi jujur pada saaat mengamati dan memaknai gerak dalam keseharian, sekaligus memahami kehidupan yang terjadi dengan membaca psikologi sosial yang sedang terjadi dari kacamata ruang-waktu.

Tari yang telah hadir menjadi sebuah simbol ekspresi manusia akan keindahan dari masa ke masa semakin kehilangan arahnya. Begitu pula yang terjadi pada sebuah pertunjukan tari saat ini. Sedikit sekali sebuah pertunjukan tari yang mengekspresikan persoalan hidup manusia. Tari pun beralih fungsi menjadi sebuah hiburan yang lebih mengutamakan selera bagi kelompok masyarakat. Bahkan esensi tubuh dalam seni tari menjadi kehilangan arah dengan masuknya material yang ditempelkan bagai sebuah kolase gerak. Tari dengan pemahaman akan sebuah kompleksitas sosial saat ini seakan harus membaur bersama produk yang dibingkaikan untuk sebuah politik-sosial-ekonomi. Artinya, akan menjadi sulit jika kita berharap seni tari akan mampu menjadi media komunikasi atas permasalahan sosial, politik, sejarah, ekonomi, agama, hingga budaya. Terkecuali apabila para pelaku tari itu sendiri mau mencoba meluangkan waktu dan melihat kembali sejarah kemunculan tari. Pada saat bahasa kata belum ada, tari sebagai komunikasi yang dikemas ke dalam sebuah pertunjukan memiliki maksud dan tujuan akan peradaban yang ada. Namun tanpa meniadakan fungsinya sebagai satu tahap perenungan/pencerahan. Tari ini terwujud dalam, antara lain, upacara, ritual, perayaan dan hiburan.

Di Indonesia sendiri, seni tari telah mengalami masa peralihan dalam peta peradaban sejak masyarakat agraris dan pesisir. Contohnya tari Barong Brutuk dari Bali yang mengandung spirit ritual akan harmonisasi hubungan manusia dengan alam, baik secara fisik maupun spiritual. Pada perjalanannya, tari berkembang secara konstruktif ke dalam satu pemahaman akan disiplin militer pada masa era penjajahan, di mana tari telah mengambil bentuknya secara matematis dalam pola koreografi, contoh; tari Bedhaya dari Jawa. Hingga di sekitar tahun 1966, tari secara konsep menetapkan diri sebagai sebuah identitas akan keberadaan sebuah negara baru, dengan munculnya Bagong Kussudiardja melalui konsep Nusantara dalam komposisi koreografinya. Kemudian dilanjutkan oleh Sardono W Kusuma dengan mengangkat tema permasalahan konflik sosial antara manusia dengan alam. Lalu kini muncullah Fitri Setyaningsih yang mengusung tema tubuh material dalam masyarakat modern, dan masih banyak contoh lainnya. Namun apakah kita akan tetap mengacu pada seni enam-enam di saat informasi dan globalisasi terbuka lebar di depan mata kita? Apakah kita akan terus membicarakan sebuah indentitas yang tertanam dalam kotak geografis?

Sebaliknya, keberagaman kita harusnya mampu menciptakan sebuah ide pengkaryaan dalam seni tari yang dapat membuat kita memahami esensi tari itu sendiri. Di mana tari bermuara dari gerakan tubuh dengan komposisi koreografi yang mampu memberikan satu pemahaman akan spiritual proses kehidupan manusia (baca: masyarakat). Dengan mengutip satu pemahaman akan politik tubuh dari Michel Foucault terhadap tubuh yang mengambil bentuk penghancuran tubuh dan langsung menyentuh tubuh secara langsung, justru membuat tubuh menjadi ambigu. Karena itulah, tari seharusnya tidak meniadakan jejak sejarah tari itu sendiri, melainkan mengemasnya menjadi sebuah komposisi koreografi yang lebih plural (secara tubuh). Di saat inilah, tari dengan gerak tubuhnya yang semakin terpojok oleh identitas geografis, undang-undang, dan paham moralis/agamis seharusnya berani melakukan eksplorasi terhadap tubuh yang terpenjara. Bukan menutupi tubuh dengan material yang sedang menjadi tren. Melainkan membiarkan tubuh itu bicara dengan bahasanya, dengan memperkenalkan spirit dalam tari yang lebih mendalam dan serius mengenai persoalan sosial dan seni menuju tercapainya perluasan dan penerangan konseptual dalam panggung tari.

Dengan pemahaman tentang satu esensi dari peran tari, ada baiknya keberadaan para pelaku dan pencipta tari saat ini memiliki keberanian untuk mereformasi sebuah sudut pandang pertunjukan-pertunjukan tari pada satu bentuk penciptaan dengan melakukan eksperimen-eksperimen, pencarian, dan pengolahan gagasan tanpa meninggalkan spirit tubuh sebagai esensi dari seni tari. Bukan lagi terpaku pada pembuatan kolase teknik dalam membangun imaji yang akan dihasilkan di sebuah pertunjukan tari dengan meninggalkan fungsinya bagi masyarakat luas.

Begitulah tari sebagai salah satu seni pertunjukan menjadi sebuah tontonan yang layak dibaca dan membaca. Seperti halnya pada seni-seni yang lain. Semoga para pelaku dan pencipta tari saat ini menjadi lebih lebih kritis dalam membaca ruang dan masyarakat agar panggungnya tidak lagi kering dan kosong untuk dibaca oleh masyarakat. Selamat menari!